TopiBambu berbagi sebuah artikel kewirausahaan TopiBambu nilai sangat bermanfaat untuk dibaca siapa pun yang memiliki keinginan atau niat untuk menjadi wirausaha. Artikel ini berasal dari Kompas.com. Selamat membaca!
Jangan Pragmatis Jika Ingin Sukses Berwirausaha
KOMPAS.com – Semangat entrepreneurship perlu ditanamkan dalam diri anak muda sejak dini, baik melalui sistem pendidikan, maupun pola asuh di rumah. Anak muda perlu ditularkan cara berpikir yang tidak pragmatis. Orangtua juga perlu membiasakan anak-anak untuk berpikir out of the box. Salah satunya dengan tidak menggiring pola pikir anak, bahwa begitu lulus sekolah anak harus mencari kerja, menjadi karyawan, dan bekerja mengumpulkan uang atau aset lainnya. Perubahan mindset adalah mutlak, jika menginginkan kehidupan yang lebih sejahtera, bukan hanya untuk diri sendiri namun juga bagi banyak orang.
Tri Mumpuni Wiyatno (46), Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) Subang, mengatakan dari total populasi orang Indonesia, 2,50 persennya adalah orang yang mampu namun pragmatis.
“Bekerja mengabdi pada kapitalis, memiliki rumah bagus, istri cantik, sah saja, tetapi pragmatis,” kata Mumpuni, dalam diskusi mengenai lingkungan dan kewirausahaan bersama sejumlah mahasiswa di @america (pusat informasi dan budaya Amerika Serikat) di Mal Pacific Place, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Mumpuni, banyak celah dan potensi bisnis berbasis masyarakat yang bisa digali oleh anak muda. Mumpuni menyatakan pengharapannya kepada generasi muda untuk membangun entrepeneurship sosial yang memberikan manfaat bagi banyak orang. Baginya, tak mudah mengubah paradigma dan juga cara pandang generasi tua untuk menggali potensi entrepreneurship sosial ini. Di tangan anak muda, entrepreneurship sosial yang lebih mencari manfaat daripada profit bisa lebih berkembang. Inovasi bisnis sosial yang dijalankan Mumpuni dengan suaminya, Ir Iskandar Budisaroso Kuntoadji, menjadi contoh sukses.
Mumpuni dan suami serta tim Ibeka membangun fasilitas listrik tenaga air (mikrohidro) di Desa Cinta Mekar, Subang. Melalui bisnis berbasis masyarakat ini, Mumpuni tak hanya berhasil memberikan pasokan listrik desa secara mandiri. Namun, upayanya ini juga membuat desa dengan 445 kepala keluarga ini mampu meningkatkan kesejahteraannya.
“Setelah beroperasi satu tahun, desa punya tabungan senilai Rp 50 juta. Desa punya pendapatan karena membangun pembangkit listrik yang dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dari pendapatan ini, desa bisa meminjamkan modal usaha mulai Rp 500.000 hingga Rp 2 juta kepada masyarakat, memberikan biaya pendidikan dan kesehatan,” jelas ibu dua anak yang dinobatkan World Wildlife Fund for Nature (WWF) sebagai Climate Hero pada 2005 lalu, karena usahanya melistriki puluhan desa di seluruh Indonesia.
Entrepreneurship sosial memberikan manfaat yang jauh lebih besar. Selain itu juga mengajarkan, bahwa hidup lebih bermakna dan bermanfaat dengan berbagi. ”Paradigma bisnis harus diubah. Dari bisnis komersial yang memaksimalkan profit menjadi bisnis sosial yang memaksimalkan manfaat,” jelasnya.
Mengambil contoh dari bisnis sosial yang digelutinya sejak 18 tahun lalu, Mumpuni mengajak generasi muda untuk tidak menjadi bagian dari golongan yang berpikir pragmatis. Tidak juga menjadi bagian orang mampu, namun miskin moral yang jumlahnya mencapai 45 juta di seluruh Indonesia. Apalagi menjadi bagian dari golongan tidak mampu dan miskin yang jumlahnya 185 juta. Mumpuni mengajak generasi muda menggali berbagai potensi bisnis sosial, dan menjadi bagian dari kurang dari satu juta orang yang mampu, dan mau berbagi dengan orang lain.
“Banyak orang yang mampu namun miskin moral. Mereka egois, serakah, dan rakus. Mengejar rejeki adalah kesalahan. Yang betul adalah menata diri, berbuat baik, dan berbagi. Lalu yakin, bahwa Tuhan memberikan jaminan berupa rezeki,” jelasnya penuh semangat.
Jangan Pragmatis Jika Ingin Sukses Berwirausaha
KOMPAS.com – Semangat entrepreneurship perlu ditanamkan dalam diri anak muda sejak dini, baik melalui sistem pendidikan, maupun pola asuh di rumah. Anak muda perlu ditularkan cara berpikir yang tidak pragmatis. Orangtua juga perlu membiasakan anak-anak untuk berpikir out of the box. Salah satunya dengan tidak menggiring pola pikir anak, bahwa begitu lulus sekolah anak harus mencari kerja, menjadi karyawan, dan bekerja mengumpulkan uang atau aset lainnya. Perubahan mindset adalah mutlak, jika menginginkan kehidupan yang lebih sejahtera, bukan hanya untuk diri sendiri namun juga bagi banyak orang.
Tri Mumpuni Wiyatno (46), Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) Subang, mengatakan dari total populasi orang Indonesia, 2,50 persennya adalah orang yang mampu namun pragmatis.
“Bekerja mengabdi pada kapitalis, memiliki rumah bagus, istri cantik, sah saja, tetapi pragmatis,” kata Mumpuni, dalam diskusi mengenai lingkungan dan kewirausahaan bersama sejumlah mahasiswa di @america (pusat informasi dan budaya Amerika Serikat) di Mal Pacific Place, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Mumpuni, banyak celah dan potensi bisnis berbasis masyarakat yang bisa digali oleh anak muda. Mumpuni menyatakan pengharapannya kepada generasi muda untuk membangun entrepeneurship sosial yang memberikan manfaat bagi banyak orang. Baginya, tak mudah mengubah paradigma dan juga cara pandang generasi tua untuk menggali potensi entrepreneurship sosial ini. Di tangan anak muda, entrepreneurship sosial yang lebih mencari manfaat daripada profit bisa lebih berkembang. Inovasi bisnis sosial yang dijalankan Mumpuni dengan suaminya, Ir Iskandar Budisaroso Kuntoadji, menjadi contoh sukses.
Mumpuni dan suami serta tim Ibeka membangun fasilitas listrik tenaga air (mikrohidro) di Desa Cinta Mekar, Subang. Melalui bisnis berbasis masyarakat ini, Mumpuni tak hanya berhasil memberikan pasokan listrik desa secara mandiri. Namun, upayanya ini juga membuat desa dengan 445 kepala keluarga ini mampu meningkatkan kesejahteraannya.
“Setelah beroperasi satu tahun, desa punya tabungan senilai Rp 50 juta. Desa punya pendapatan karena membangun pembangkit listrik yang dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dari pendapatan ini, desa bisa meminjamkan modal usaha mulai Rp 500.000 hingga Rp 2 juta kepada masyarakat, memberikan biaya pendidikan dan kesehatan,” jelas ibu dua anak yang dinobatkan World Wildlife Fund for Nature (WWF) sebagai Climate Hero pada 2005 lalu, karena usahanya melistriki puluhan desa di seluruh Indonesia.
Entrepreneurship sosial memberikan manfaat yang jauh lebih besar. Selain itu juga mengajarkan, bahwa hidup lebih bermakna dan bermanfaat dengan berbagi. ”Paradigma bisnis harus diubah. Dari bisnis komersial yang memaksimalkan profit menjadi bisnis sosial yang memaksimalkan manfaat,” jelasnya.
Mengambil contoh dari bisnis sosial yang digelutinya sejak 18 tahun lalu, Mumpuni mengajak generasi muda untuk tidak menjadi bagian dari golongan yang berpikir pragmatis. Tidak juga menjadi bagian orang mampu, namun miskin moral yang jumlahnya mencapai 45 juta di seluruh Indonesia. Apalagi menjadi bagian dari golongan tidak mampu dan miskin yang jumlahnya 185 juta. Mumpuni mengajak generasi muda menggali berbagai potensi bisnis sosial, dan menjadi bagian dari kurang dari satu juta orang yang mampu, dan mau berbagi dengan orang lain.
“Banyak orang yang mampu namun miskin moral. Mereka egois, serakah, dan rakus. Mengejar rejeki adalah kesalahan. Yang betul adalah menata diri, berbuat baik, dan berbagi. Lalu yakin, bahwa Tuhan memberikan jaminan berupa rezeki,” jelasnya penuh semangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar